Legenda Pesut Mahakam
Oleh : Fahrorozi
Di Kalimanatan Timur terdapat sebuah sungai yang terkenal yaitu Sungai Mahakam. Di sungai tersebut terdapat ikan yang sangat khas bentuknya yaitu Pesut Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) adalah lumba-lumba air tawar Indonesia. Tubuh tegap, sirip punggung kecil & segitiga serta kepala bulat/tumpul dgn mata yg kecil. Tergolong lumba-lumba kecil, dgn panjang dewasa 2,0 – 2,75 m, bayi pesut 1,0 m. Pesut tdk terlalu aktif, terkadang melompat rendah). Sebenarnya pesut bukanlah ikan tetapi mamalia air sebagaimana Lumba-lumba dan Paus. Menurut penduduk sekitar sungai tersebut Pesut bukanlah sembarang ikan tetapi adalah jelmaan manusia.
Ceritanya
pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang
didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan
adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen,
penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan
beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.
Ditengah
masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang
hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri
dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan
hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki
kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu
pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana,
sehingga mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun.
Pada
suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah
diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung
sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu,
kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam
kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka
cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya
selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan
rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh
desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam
kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan
padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.
Suatu hari di dusun
tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan
hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan,
terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu
mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi.
Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk
turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu
dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila
dibuatnya.
Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian
yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat
pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan
agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis.
Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang
ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis.
Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang
gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya
maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan
antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali,
dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.
Demikianlah
keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para
sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta
adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga
tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai
mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi.
Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya,
sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka
sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga
kehidupan mereka cerah kembali.
Dalam keadaan yang demikian, tidak
lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan
memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak
itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah
hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa
karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur
dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang
anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan
bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.
Pada
suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia
menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!”
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!”
“Tapi, Bu…” jawab anak lelakinya, “Untuk apa kayu
sebanyak itu…? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah
hampir habis, barulah kami mencarinya lagi…”
“Apa?! Kalian sudah
berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas!
Ayo, berangkat sekarang juga!!” kata si ibu tiri dengan marahnya.
Anak
tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera
pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi
sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua.
Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan.
Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti
yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di
hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan
pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat
terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.
Esok
paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya.
Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya
mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka
ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
“Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!” tanya kakek itu kepada mereka. Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
“Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!” tanya kakek itu kepada mereka. Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
“Kalau
begitu…, pergilah kalian ke arah sana.” kata si kakek sambil menunjuk
ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan.
Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari
lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”
Sambil
mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju
ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi,
disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian,
nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak
berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan
kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan
buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali.
Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan
pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu
tiri.
Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya
banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun
kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas,
barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun
alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong
melompong.
Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi
meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah
habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi
ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis
sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga
sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut
setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut
telah pindah secara diam-diam.
Esok harinya, kedua anak tersebut
bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana
tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian
menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak
itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu
tiri mereka.
Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka
belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari
yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan
tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera
menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali
mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.
Mereka akhirnya
menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang
duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu
memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
“Dari mana
kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh
terpencil ini?” tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
“Maaf,
Tok.” kata si anak lelaki, “Kami ini sedang mencari kedua urangtua
kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang masih muda lewat disini?”
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmm…, beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini.” kata si kakek kemudian, “Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
“Hmmm…, beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini.” kata si kakek kemudian, “Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
“Tak salah lagi, Tok.” kata anak lelaki itu dengan gembira, “Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?”
“Waktu
itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang,
mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok
dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana.”
“Terima kasih, Tok…” kata si anak sulung tersebut, “Tapi…, bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?”
“Datok
ni dah tuha… mana kuat lagi untuk mendayung perahu!” kata si kakek
sambil terkekeh, “Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah
perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
Kakak beradik itu pun
memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan
mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua
orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki
perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa
lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui
keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan
menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari
lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung
sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.
Tampaklah oleh mereka
sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka
mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki
tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan
mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di
belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah
dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah
ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya
sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa
pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok
tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.
Rupanya
orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk
yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Di dalam periuk tersebut
ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya
melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya
yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang
dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal
sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur
tersebut sekaligus dengan periuknya.
Karena bubur yang dimakan
tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak
terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana
kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di
kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga
pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai,
segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu,
penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang
itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok
mereka menjadi layu dan hangus.
Namun mereka sangat terkejut
ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah
mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok
hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi
ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka
kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai
yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan
hangus.
Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua
makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air
dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang
mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena
tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang
secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan
manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak
pernah mau menceritakan asal usulnya.
Tak lama berselang, penduduk
desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan
keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip
dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai
sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari
kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air
semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan
ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.
Oleh masyarakat
Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau
Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan
Bawoi.
Sumber: kutaikartanegara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar