Kamis, 11 November 2010

“Mapping the Subject”

Inspirasi Dari Buku : 
Geographies of Cultural Transformation: Steve Pile, Nigel Thrif 
Part I, II, III, IV

Oleh : Fahrorozi


Dalam posting kali ini saya akan shared tentang hasil membaca gua pada buku “Mapping the Subject”: Geographies of Cultural Transformation: Steve Pile, Nigel Thrif. Yang bukunya masih dalam bahasa inggris dan masih sulit dimengerti akan bahasanya dan gaya kata-katanya <menurut gw tapi,…..>

Yang dapat saya ambil dari buku tersebut adalah mengenai mengetahui individu, pemetaan dari suatu objek, gaya seni hidup yang benar, belajar dari keluarga dan rutinitas kita yang domistik. Pergaulan dari dari perbedaan gender,wanita di trialmen, heteroseksual dan emosional hidup juga dibahas dalam buku ini.
Delain itu, pemetaan identitas yang gila atau di luar jangkauan otak manusia biasa, mengetahui arti bahasa tubuh tanpa organ, menjelajahi subjek dalam realitas yang lebih tinggi, juga migran diri dan stereotip dibahas pada suatu partnya…

Part berikutnya mengetahui tentang waktu, ruang dan keliyanan, juga tentang subject yang dapat berubah tanpa pemberitahuan, membuat ruang bagi subjek perempuan feminisme, dan teknik pengusaha dan pemberontak jalanan.
Itulah kiranya sekilas isi dari buku tersebut.

Nah ,…..

Sekarang bagaimana kita mengambil ilmu dari buku tersebut
Mungkin saya juga masih awam jika harus menjelaskan bagaimana kita merespon dari prinsip-prinsip dari para pencetus bukunya,… dimana kita di buku tersebut terdapat dua paham, kita bias mengambil kesimpulan dari salah satu paham yang di cetuskan oleh para pembutnya yaitu Si Steve ataupun Si Nigel. Tinggal elu lebih cenderung ke paham yang mana yang sesuai dengan prinsip lu,…..

Untuk penggambaran saya ambil kilasan dari beberapa buku yang sudah ada resensinya saja yang mudah untuk di shared kan,…. Untuk itu mari kita bahas yang pertama saya ambil dari buku berikut:

Mandat Budaya-35 : FILSUF FEYERABEND DAN TEORI KREASI (Ir. Stanley I. Sethiadi)
Mandat Budaya-35
FILSUF FEYERABEND DAN TEORI KREASI
oleh : Ir. Stanley I. Sethiadi

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi. (Kejadian 1:1-3).
"Scientific American" adalah sebuah majalah ilmiah, yang diterbitkan di-Amerika Serikat dan sudah berusia lebih dari satu abad. Majalah ini sangat populer bukan saja di-Amerika, tetapi juga diseluruh dunia. Pada umumnya, majalah itu adalah pendukung teori evolusi. Tetapi dalam penerbitannya bulan Mei 1993 halaman 16-17 diberitakan pendapat seo rang filsuf yang sangat terkenal ialah Dr Paul Karl Feyerabend (1924-1994).

Feyerabend lahir di Austria  pada tahun 1924. Mula-mula ia belajar fisika, kemudian ia lanjutkan dibidang filsafat. Pada tahun 1951 ia mendapat gelar Doctor dalam filsafat. Pada tahun 1975 ia menulis sebuah buku yang berjudul : "Against Method." Buku ini banyak dibaca oleh para ilmuwan sedunia, dan telah diterjemahkan dalam 16 bahasa. Feyerabend juga menulis buku yang berjudul : "Science in a free society" (1978), dan "Farewell to Reason" (1987).

Feyerabend menganjurkan agar kita mempunyai pikiran yang terbuka terhadap metode-metode dan cara hidup baru, biarpun berlainan atau bahkan bertentangan dengan metode-metode dan cara hidup yang telah mapan. Menurut "Scientific American" :

FEYERABEND JUGA MENDUKUNG AGAR TEORI KREASI DIAJARKAN DISEKOLAH-SEKOLAH UMUM, DISAMPING TEORI EVOLUSI.

Teori kreasi dikemukakan para ilmuwan kreasionis sejak tahun 1950 dan lebih tegas lagi sejak 1970. Menurut teori kreasi alam semesta ini terma suk umat manusia diciptakan Pencipta menurut penciptaan khusus, dan bukan berevolusi seperti dikatakan para evolusionis. Mula-mula teori ini diejek oleh para evolusionis sebagai : "Agama yang berselubung ilmiah".

Para

kreasionis menunjukan bahwa : "Kalau teori evolusi adalah ilmu pengetahuan alam, maka teori kreasi adalah juga ilmu pengetahuan alam. Sebaliknya bila kreasionisme adalah agama, maka evolusionisme adalah juga agama. Keduanya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dalam arti kata percobaan-percobaan dan pengamatan-pengamatan yang dapat diulangi dan diselidiki secara seksama. Keduanya hanya berdasarkan spekulasi-spekulasi metafisis dari benda-benda dan hukum alam yang berlaku masakini".
Para kreasionis sedunia berjuang agar teori kreasi diajarkan disekolah- sekolah, disamping teori evolusi. Usaha ini mendapat tentangan keras dari para evolusionis. Banyak evolusionis mempertahankan mati-matian agar evolusionisme tetap menjadi satu-satunya "agama" resmi disekolah- sekolah dari TK sampai Universitas.

Secara umum, lepas dari pro atau kontra teori yang satu atau teori yang lain, patutkah murid-murid disekolah hanya disodorkan satu cara pandang saja, kalau memang ada lebih dari satu cara pandang ? Apalagi diajar seolah-olah cara pandang itu mutlak benar ? Dalam abad ke-20 ini, praktis semua ilmuwan yang berbobot mengerti bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak dalam ilmu pengetahuan alam. Patutkah diadakan pengecualian pada sebuah teori tertentu ? Pada teori evolusi umpamanya.

Dalam dunia ilmu pengetahuan alam, untuk menerangkan sebuah kumpul an gejala-gejala alam memang dapat ada dua atau lebih teori. Umpama mengenai cahaya, ada teori yang mengatakan bahwa cahaya adalah partikel-partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi, dan ada teori lain yang mengatakan bahwa cahaya adalah gelombang-gelombang. Sampai sekarang para ilmuwan masih belum dapat tentukan teori mana yang "lebih benar". Keduanya diajarkan kepada para siswa sekolah menengah dan para mahasiswa IPA.

Mengenai teori asal usul alam semesta, ada tiga buah teori ialah:
1. Teori kreasi, ialah bahwa alam semesta ini diciptakan sang Pencipta.

2. Teori evolusi, ialah bahwa alam semesta ini berevolusi dari zat atau materi dasar.
3. Teori bahwa alam semesta ini selamanya ada. Teori ini kini sudah hampir tidak ada pendukungnya lagi.

Tetapi dahulu pernah didukung Aristoteles, Ibn Rushd, dan dalam abad ke-20 oleh Vorontzov Velyaminov dan Fred Hoyle.

Dengan segala kejujuran kejujuran ilmiah (scientific integrity), saya dukung pendapat Feyerabend agar kedua (atau lebih tepat lagi ketiga) teori-teori diatas diajarkan kepada semua murid sekolah dari TK sampai universitas. Setelah diberi kesempatan penerangan yang fair, biarlah sang murid pilih sendiri teori mana yang ia percaya.

Zaman dahulu, lawan para evolusionis adalah para rokhaniwan. Cara-cara dan metode-metode yang dipakai kedua belah pihak berlainan. Di-Amerika Serikat perdebatan sampai berulangkali dibawa kepengadilan negeri, bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung. Karena kedua belah pihak tidak dapat kemukakan bukti-bukti ilmiah yang dapat diulangi dan diselidiki dengan seksama, maka kedua belah pihak menggunakan senjata-senjata non-ilmiah seperti kutukan-kutukan, ejekan-ejekan, cemoohan-cemoohan dan penghinaan-penghinaan. Ini jelas bukan cara-cara yang baik untuk mendapat kebenaran.


Dahulu ilmuwan yang tidak setuju dengan teori evolusi pada umumnya hanya protes sekedarnya, a.l. akhli biologi dan geologi yang sangat terkenal Louis Aggasiz (1807-1873). Tetapi sejak 1970 lawan para ilmu wan evolusionis adalah para ilmuwan kreasionis. Kini ilmuwan lawan ilmuwan.

Para ilmuwan evolusionis tetap menggunakan senjata ejekan- ejekan. Belajar dari sejarah, para ilmuwan kreasionis berusaha untuk menghindarkan diri terlibat secara emosional, dan berusaha memberi argumen-argumen rasionil tanpa ejekan-ejekan. Contoh yang sangat baik diberikan oleh para ilmuwan di- "Institute for Creation Research" (ICR) di-Amerika Serikat.

Yang jelas ada ialah alam semesta ini. Yang jelas ada ialah batu-batuan, lapisan-lapisan tanah, fosil-fosil, lautan, sungai-sungai, gunung-gunung, planet-planet, bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, dan umat manusia termasuk Anda dan saya. Yang jelas ada ialah hukum- hukum fisika, kimia, biologi dan kimia-biologi yang berlaku masakini. Semua ini jelas ada dan tidak dibantah baik oleh kaum kreasionis maupun kaum evolusionis.

Yang dimasalahkan ialah dari mana datangnya semua itu ? Bagaimana kita dapat ada disini ? How do we get here ? Apakah kita ada disini karena diciptakan Allah, atau berevolusi dari zat mati secara kebetulan ? Anda dan saya keturunan Adam dan Hawa historis yang diciptakan Allah menurut peta dan teladanNYA, atau keturunan binatang yang berevolusi secara kebetulan tanpa ada yang recanakan ?

Sesungguhnya, ilmu pengetahuan alam yang murni sebaiknya membatasi diri dengan mempelajari alam semesta masakini. Maximaal masa lalu yang ada saksi-saksi berupa tulisan-tulisan manusia. Dengan ilmu penge tahuan alam murni saya maksudkan ilmu positif, ialah ilmu yang dapat diuji dengan pengamatan-pengamatan dan percobaan-percobaan yang dapat diulangi dan diselidiki dengan seksama.

Menduga-duga masalalu dan masa akan datang alam semesta ini dalam jangka panjang, sesungguhnya sudah keluar dari bidang ilmu pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan alam memang dapat ditunggangi oleh filsafat atau agama tertentu sehingga menjadi spekulasi-spekulasi metafisis yang diarahkan agar mendukung filsafat atau agama tertentu itu.

Meta

berarti setelah. Jadi metafisika berarti setelah fisika. Sesungguhnya spekulasi- spekulasi metafisis sudah keluar dari bidang fisika dan memasuki bidang metafisika, filsafat atau agama. Kita harus belajar membedakan ilmu positif dengan spekulasi-spekulasi metafisis.

Ketika saya bicara dengan beberapa orang Kristen termasuk beberapa pendeta mengenai soal diatas, ada yang jawab dengan ketus : "Itu tidak penting !".

Ada

yang senyum-senyum secara "simpatik", tetapi tanpa mengambil sikap yang tegas mendukung atau menentang pendapat saya. Kebanyakan lebih suka pilih jalan "aman" dengan berkompromi. Mereka terima suatu theistic evolution yang samar-samar dan/atau disamar- samar

kan

. Hanya sedikit yang berikan tanggapan positip.




Disadari atau tidak, sesungguhnya hal tersebut diatas sangat penting, sangat fundamentil. Mengapa ? Kalau seseorang merasa dirinya ketu runan binatang, maka iapun tidak akan merasa bersalah kalau ia berlaku dan bertindak sebagai binatang. Beberapa bulan yang lalu saya sempat bicara dengan seorang sarjana teknik dari Jepang. Sebagai sarjana teknik ia memang pandai. Tetapi dari sudut moral dan etika, ia penganut free sex. Setelah saya tanya lebih lanjut ia mengaku tidak percaya pada Allah. Saya tanya kepadanya: "Kalau Anda tidak percaya bahwa Allah itu ada, menurut Anda dari mana asal usul manusia termasuk Anda dan saya ?". Ia jawab sambil tertawa terbahak-bahak : "Maybe from the monkeys". (Mungkin dari monyet-monyet). Karena ia merasa dirinya keturunan monyet ia tidak ada perasaan bersalah kalau ia bersikap dan bertindak seperti monyet.

Sebenarnya menurut para evolusionis manusia dan monyet adalah keturunan primat. Jadi monyet, menurut para evolusionis, adalah "keponakan" manusia. Monyetpun ada yang monogami. Tetapi memang ada yang poligami dan "penganut" free sex. Simpanse dianggap para evolu sionis adalah "keponakan" yang paling dekat dengan manusia. Simpanse memang termasuk monyet "penganut" free sex.

Tetapi kalau manusia percaya bahwa ia adalah keturunan Adam dan Hawa historis, yang diciptakan Allah menurut peta dan teladan Allah, maka mudah-mudahan ia akan rindu untuk mendapat kembali peta dan teladan Allah ini yang sempat dirusak oleh dosa. Kepercayaannya ini, tentu ada dampak yang sangat besar akan perilakunya.

Para kreasionis di-Amerika Serikat, Australia, Eropah, Rusia dll sadar benar akan hal tersebut diatas. Mereka sedang memperjuangkan agar teori kreasi diajarkan bersamaan dengan teori evolusi. Bagaimana kalau kita di-Indonesia juga turut memperjuangkannya ?

Pada tahun 1950 ilmuwan kreasionis masih sangat langka. Pada tahun 1970 sudah ada ratusan. Kini 1993, jumlahnya sudah ribuan tersebar diseluruh dunia. Dengan adanya komentar dari seorang filsuf kenamaan seperti Dr Feyerabend diatas, para evolusionis kini sungguh tidak dapat pandang enteng para kreasionis.

Kita tidak dapat merubah dunia dalam waktu sekejap. Tetapi kita selalu dapat sumbangkan iman dan ilmu pengetahuan alam yang benar kepada siapapun yang berhubungan dengan kita. Sedikit-sedikit, lama-lama kan jadi bukit. Himbauan ini saya tujukan kepada semua orang, terutama guru-guru yang beragama Kristen dari denominasi manapun juga, dari TK sampai universitas. Apalagi kepada guru-guru agama disekolah-sekolah Kristen, teristimewa pada guru-guru sekolah Minggu. Lebih teristimewa lagi pada para pendeta dan calon pendeta.


Kini Anda dapat yakin dan percaya dengan teguh bahwa banyak ilmuwan kaliber internasional yang percaya kisah Kejadian 1-11 secara harafiah, a.l. Dr A.E. Wilder Smith dari Swiss, Dr Charles Phallagy dari Australia, Prof. Enoch dari India, Dr. Henry M. Morris dan anaknya Dr. John Morris dari Amerika Serikat, Dr Kouznetsov dari Russia dan ribuan ilmuwan lain. Dimasa yang lalu Kepler dan

Newton

, bapak-bapak ilmu pengetahuan alam modern, juga percaya Kejadian 1-11 secara harafiah. Filsuf Dr Feye rabend, setelah mempelajari pokok persoalan secara objektip mendukung diajarkannya teori kreasi disekolah-sekolah umum diseluruh dunia.

Sesungguhnya urusan menyelidiki alam semesta masakini, adalah urusan ilmu pengetahuan alam positif, urusan para ilmuwan. Urusan menyelidiki asal mula dan tujuan akhir dari alam semesta ini adalah urusan meta fisika, filsafat atau agama, urusan para rokhaniwan. Tetapi kini memang timbul kekacauan soal ini. Atau mungkin para rokhaniwan memang harus kerjasama dengan para ilmuwan untuk menjernihkan persoalan ini. Mari kita bantu tanamkan iman dan ilmu yang benar dalam setiap kesempatan yang Allah berikan kepada kita. Halleluyah !

<Sumber : www.sahabatsurgawi.net (kolom Alkitab dan Ilmu Pengetahuan)>

Filsafat sebagai seni-hidup, adalah filsafat sebagai sebuah laku atau praksis kehidupan. Buku ini, dengan entusiasmenya, tampak memposisikan lebih pada paradeigma pertama ini.

Sejak dahulu manusia suka mempertanyakan tentang dirinya dalam menjalani kehidupannya, dari mana dia berasal dan untuk apa dia hidup. Secara fitrah manusia mengakui adanya Tuhan. Oleh sebab itu manusia juga suka mencari tahu siapa Tuhannya. Sikap ini memunculkan gagasan tentang Tuhan. Gagasan ini muncul dari pemikiran manusia. Dengan gagasan yang dibuatnya, manusia mencoba menjelaskan arti kehidupan. Penjelasan-penjelasan tentang arti kehidupan di antaranya dibuat oleh orang-orang Yunani kuno. Mereka disebut sebagai filsuf. Mereka mengandalkan akal mereka untuk menjelaskan arti kehidupan. Berbeda dengan Islam yang menempatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman yang paling utama dalam menjelaskan arti kehidupan, bukan akal. Akal ditempatkan di bawahnya. Akan tetapi, ketika kekuasaan Islam meningkat cukup pesat, ada sebagian umat Islam yang mempelajari karya-karya dari filsuf Yunani yang mereka dapat setelah menaklukan wilayah yang menjadi tempat penyimpanan karya-karya filsuf Yunani itu. Dua orang ilmuwan muslim yang sangat terkenal yang mempelajari filsafat Yunani adalah Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Dan keyakinan mereka menjadi rusak setelah mereka mempelajari filsafat itu. Aku mengira kelompok-kelompok dalam Islam yang menggunakan akal dalam menjelaskan ajaran Islam, seperti Mu’tazilah, bisa muncul karena mereka mempelajari filsafat Yunani. Pada saat itu ilmu kalam berkembang di kalangan umat Islam. Munculnya ahli kalam (orang yang belajar ilmu kalam) menimbulkan keresahan karena umat menjadi bingung setelah mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sulit dari mereka. Para ulama menyatakan haramnya mempelajari ilmu kalam. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada ahli ilmu kalam menurutku adalah dipukuli dengan pelepah kurma dan sandal lalu diarak mengelilingi kabilah-kabilah dan kaum-kaum sambil diumumkan: ‘Inilah balasan/hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan malah menekuni ilmu kalam.’” Begitu kerasnya sikap Imam Asy-Syafi’i terhadap ahli kalam, tetapi sebenarnya apa yang dimaksud dengan ilmu kalam?

Aku suka bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan ilmu kalam. Orang-orang mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu filsafat. Menurutku ada perbedaan antara filsafat dengan ilmu kalam walaupun ada kemiripan. Kemiripannya adalah sama-sama mempertanyakan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang-orang, terutama masalah ketuhanan yang sudah di luar jangkauan manusia. Menurutku inilah yang membuat orang-orang menjadi rusak pemikirannya ketika mempelajari ilmu ini. Munculnya pertanyaan yang jarang terpikirkan oleh orang-orang membuat mereka memunculkan jawaban dari diri mereka sendiri berdasarkan nalar. Ahli kalam menggunakan jawaban itu sebagai landasan dalam beragama sehingga menjadi rusaklah keyakinan agama mereka. Seharusnya kita selalu menggunakan penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya dalam memahami agama Islam ini. Itulah menurutku kesalahan ahli kalam. Sedangkan filsafat tidak mengkhususkan pada masalah agama, tetapi lebih global daripada itu. Filsafat menjelaskan segalanya di luar sudut pandang agama. Bahkan kata orang filsafat, agama merupakan bagian dari filsafat. Ini merupakan pembahasan yang lebih berbahaya daripada ilmu kalam. Ilmu kalam mungkin masih menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits dalam memberikan jawaban, sedangkan filsafat tidak menggunakan pernyataan tertentu (termasuk Al-Qur’an) sebagai pegangan sehingga mereka tidak mempunyai landasan berpikir selain menggunakan nalar. Namun, apakah benar filsafat hanya membahas masalah-masalah yang sudah kujelaskan di atas?

Aku sepakat bahwa filsafat menjelaskan segalanya, tetapi tidak sebatas membahas masalah-masalah di atas. Filsafat juga membahas hubungan kita dengan alam ini, sikap kita dalam melihat dunia, sains, ekonomi, dan sebagainya. Itu semua memang sudah dibahas di dalam agama, tetapi perbedaannya agama menggunakan landasan sebagai keyakinannya sedangkan filsafat tidak menggunakan landasan sehingga penuh dengan keragu-raguan. Orang-orang filsafat menuntut kita berpikir bebas, tanpa keterikatan apapun dalam berpikir. Dan menurutku inilah kesalahan orang-orang filsafat. Seseorang tidak mungkin berpikir tanpa terikat dengan apapun. Orang yang melepaskan ikatan terhadap Al-Qur’an dalam berpikir akan terikat dengan yang lain yang mungkin tidak disadarinya. Dan aku tidak menyarankan orang berpikir dengan cara seperti ini, apalagi menetapkan sikap berdasarkan cara berpikir seperti ini karena inilah yang membuat orang menjadi tersesat.

Aku sendiri berusaha membatasi pemikiranku, tetapi masalahnya sejak dahulu aku suka berpikir filsafat (bukan belajar filsafat) karena logikaku yang kuat dan sikapku yang sangat kritis. Aku merasa punya kemampuan dalam bidang ini, tetapi aku tidak menyarankan orang-orang mempelajari filsafat karena itu berbahaya bagi orang-orang yang tidak kuat dalam menghadapi pemikiran itu. Dan akibat dari mempelajari filsafat adalah timbulnya keraguan karena ia akan mempermasalahkan sesuatu yang menurut orang-orang tidak penting yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Aku juga tidak ingin terjebak dalam pemikiran yang membingungkan sehingga aku berusaha membatasi pemikiranku.

Di atas aku sudah menuliskan bahwa yang dibahas di dalam filsafat sudah dibahas di dalam agama, maka aku menganggap filsafat merupakan bagian dari agama (tidak seperti pendapat orang filsafat). Namun tidak seperti ahli kalam yang menggunakan akal dalam memahami agama, yang menggunakan dalil Al-Qur’an untuk mendukung pendapatnya. Menurutku filsafat tidak harus dipelajari karena filsafat merupakan cara berpikir seseorang, tidak harus ada ilmu khusus dalam berfilsafat. Aku mendefinisikan filsafat mungkin berbeda dengan orang-orang filsafat, kita tidak harus meninggalkan ikatan kita dalam berpikir filsafat. Masalah yang akan kubahas dalam filsafat bukanlah masalah-masalah yang berada di luar jangkauan manusia, dan di antaranya sudah ada ketika Rasulullah masih hidup. Di antara masalah itu adalah alasan kita memilih Islam, alasan kita menerima Nabi Muhammad sollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah yang harus kita ikuti, yang menurutku merupakan bagian dari permasalahan filsafat.

Masalah yang kubahas di dalam kategori ingin kutujukan untuk orang-orang yang masih ragu dengan Islam. Bagi orang-orang yang sudah meyakini Islam sebagai ajaran yang benar tidak kusarankan membaca kategori ini. Dan aku meminta teman-teman agar tidak menge-link kategori ini, kecuali jika ia bertujuan meminta orang lain untuk membaca kategori ini karena orang lain itu membutuhkannya.

Satu hal yang amat berharga dari uraian panjang Magee adalah gambaran filsafat yang memiliki karakteristik perilakunya sendiri. Filsafat ternyata bukan teori yang mengambang di atas awan, melainkan suatu praktik hidup yang melekat-erat dengan kehidupan pelakunya. Pada zaman Yunani Kuno, hal ini tercermin jelas dari sosok Sokrates (hlm. 20-23). Sokrates mencerminkan suatu titik pergeseran penting dalam pandangan-dunia masyarakat Yunani Kuno. Sebelumnya, para filsuf pra-Sokratik begitu sibuk dengan metafisika dan kosmologi. Mereka banyak bertanya tentang alam dan hakikat benda-benda. Namun, Sokrates membalik orientasi filsafat itu. Baginya, yang terpenting bukan bertanya tentang itu semua, tapi bertanya bagaimana kita hidup dengan benar. Dengan kata lain, Sokrates menggeser pertanyaan dari apa ke bagaimana.

Sejak Sokrates, kita pun sadar, filsafat ternyata bukan cuma berurusan dengan theoria, dengan apa yang kita ketahui dan persepsikan dari dunia, tapi juga dengan sophia atau “kebijaksanaan”, dengan apa yang membuat diri kita lebih baik dan bermoral.

Ada tiga nilai perikehidupan yang tercermin dari para filsuf itu, yakni “kebijaksanaan”, “cinta”, dan “ugahari”. Kebijaksanaan mencerminkan konsistensi antara pikiran dan perbuatan; cinta menggambarkan hasrat terus-menerus untuk mencari kebenaran; dan ugahari (bersahaja) identik dengan askese atau ketidakpedulian akan materi dan prestise. Ketiga hal inilah yang, tampaknya, diajarkan oleh perilaku para filsuf dalam buku ini.

Sokrates mengakhiri kehidupannya dengan minum racun jelaga karena keteguhannya untuk memegang pendapatnya—yang ditentang keras dan divonis “sesat-menyesatkan” oleh pengadilan Athena. Legenda kematian Sokrates ini menyiratkan ekspresi sungguh-sungguh, bahwa seorang intelektual tidak akan memperbudak diri pada kekuasaan, dan tidak membiarkan kekuasaan atau otoritas mana pun untuk mengintervensi pendapatnya.

Elan ini tercermin di era-era kemudian, antara lain dalam perilaku kaum Stoa, yang membolehkan bunuh diri sejauh orang dapat bertanggung jawab atas kematiannya (hlm. 47); dalam kisah Galileo yang rela dipenjara untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya di hadapan Inkuisisi (hlm.67); dalam diri Thomas Hobbes yang berani menantang Gereja saat itu dengan filsafat materialismenya (hlm.78-79); dalam diri John Locke, yang pernah diusir karena dianggap memberontak, dan akhirnya membantu terwujudnya Revolusi Inggris pada 1688 (hlm. 102); dalam Voltaire yang dipenjara di Bastille karena satir-satir politiknya (hlm.122); dalam Marx, yang sepanjang hidupnya kritis terhadap agama dan terkenal militan (hlm.164); dalam diri Nietzsche yang memegang teguh nihilisme dan akhirnya sakit jiwa (hlm.172); dalam diri Kierkegaard yang asketik dan religius (hlm. 208); dalam diri Sartre yang menolak Nobel Sastra karena pendirian kirinya (hlm. 216); dalam diri Popper yang konsisten menentang Nazisme dan menyuarakan liberalisme (hlm. 220); dan banyak lagi.

Sikap-sikap hidup itu menunjukkan bahwa filsafat adalah sebuah filosofi hidup. Mereka yang berpegang pada asumsi filosofis tertentu, akan mengamalkan hidup yang sejalan dengan filosofinya. Karena itu, seorang filsuf yang tindakannya menyimpang dari pemikirannya akan menimbulkan skandal yang memalukan dalam sejarah filsafat. Heidegger, misalnya, banyak dikecam karena pernah mendukung Nazisme lewat pemikirannya. Apakah hal itu sebuah kesengajaan, atau karena Heiddegger dimanipulasi, masih jadi tanda tanya besar.

Kebijaksanaan, cinta pada kebenaran, dan ugahari—nilai-nilai ini sudah dengan sendirinya mencerminkan pendirian filsafat yang teguh dan tak mudah takluk. Karena itu, para filsuf kadang, sebagai intelektual, harus melawan masyarakat pada zamannya, jika mereka menilai bahwa gagasan mereka benar dan patut diperjuangkan. Mereka bahkan sering kali mengambil peran sebagai pembaharu sosial dan penentang atas kebobrokan moral dan intelektual masyarakat.

Persoalannya kemudian: beranikah kita sebagai kaum intelektual melakukan hal yang sama untuk negeri ini?

Kritik Pemikiran


Selain mengungkap cita rasa hidup para filsuf—yang penting kita aktualisasikan kembali—buku ini di sisi lain juga menyuguhkan filsafat sebagai sejarah rentetan kritik. Berhasilkah Magee menampilkan kritik itu?

Mengikuti alur sejarah yang objektif dan linear, ia menampilkan pemikiran filsafat secara kronologis dari masa ke masa. Rentang yang dipilihnya berkisar dari kira-kira empat abad SM hingga abad ke-20 (tahun 1960-an). Topik yang diangkatnya juga sangat luas, dari filsafat Pra-Sokratik hingga (sedikit) menyinggung posstrukturalisme di tahun 1960-an.

Untuk sebuah buku tentang filsafat, uraian yang sedemikian panjang seperti ini tampak sudah cukup memuaskan. Namun, setiap uraian pastilah mengandung sesuatu yang tak teruraikan; sebagaimana setiap yang objektif dan linear tentu menyiratkan yang subjektif dan tak linear. Demikian pun buku ini.

Sebuah contoh, jika Magee memasukkan “Filsafat dan Kristianitas” dalam fase penting sejarah filsafat, mengapa ia tidak memasukkan “Filsafat dan Islam”? Padahal, ketika Barat mengalami kegelapan, filsafat tumbuh di dunia Islam dengan suburnya—menyelamatkan warisan filsafat Yunani (Plato-Aristotelian) hingga sampai ke tangan masyarakat Eropa lewat St. Thomas Aquinas. Kelupaan (atau pengabaian?) Magee atas kontribusi filsafat Islam secara epistemologis tampak problematik, mengingat ia, di sisi lain, menyebutkan kontribusi filsafat Hindu dan Budha bagi sejarah filsafat dunia.

Selain itu, dalam konteks kritik pemikiran, buku ini sering kali tidak menunjukkan sejauh mana sebuah pemikiran tampak problematik menurut aliran lain. Barangkali karena Magee ingin menampilkan filsafat seobjektif mungkin, ia lebih memilih diam dan tidak menonjolkan filsafat mana yang dianggapnya relevan. Ia seperti sengaja membiarkan kita sebagai memilih filsafat yang kita anggap cocok.

Padahal, jika menengok pergolakan pemikiran filsafat yang sesungguhnya, jelas filsafat begitu sarat dengan pertentangan dan bahkan permusuhan di antara berbagai alirannya. Empirisisme, misalnya, sangat kritis terhadap rasionalisme, demikian juga vitalisme (seperti dalam filsafat Nietzsche) sangat antipati—bahkan memusuhi—terhadap Hegelianisme. Pertentangan-pertentangan semacam itu terasa “(di)damai(kan)” dalam buku ini.

Namun demikian, cela(h) apa pun yang terdapat dalam buku ini tidak mengurangi pentingnya buku ini bagi perkembangan filsafat ke depan. Di tengah-tengah zaman yang begitu hiruk-pikuk dengan jargon politik yang membuai dan fasilitas hidup yang melenakan, buku ini hadir untuk kembali mengingatkan pentingnya berpikir bagi generasi kita. Filsafat dimulai dari berpikir. Dan ketika sebuah generasi mulai tidak berpikir dan terjangkit apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “virus” thoughtlessness (“malas-berpikir”), di saat itu generasi tersebut sesungguhnya sedang bunuh diri.

Peradaban yang “sehat” dimulai dari keberanian untuk berpikir. Sapare aude!

< Sumber : Filsafat, Seni-Hidup dan Kritik 14Feb09 >

Nah dari situ kita bias mengambil kesimpulan. Berawal dari kita belajar untuk menemukan ide atau gagasan dari suatu object missal membaca, trus kita di tuntut untuk mengerti dari buku tersebut bagaimana kita mengantisipasinya? Otomatis kita harus bias berfikir cerdas dari pengalaman para si pembuat buku atau yang diceritakan oleh penulisnya, so kita musti bias ambil prinsip atau paham dari yang dijabarkan poleh para penulis untyuk bahan inspirasi. Atau mungkin kita bias ambil kesimpulan dan menemukan gagasan baru karena mungkin kita tak sepaham dengan yang dijabarkan dari buku tersebut,….

Tidak ada komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management