Sabtu, 24 Maret 2012

Islam Tarajumah

 APA ITU ISLAM TARAJUMMAH??
OLEH : FAHROROZI
 Dulu, pada masa kita kecil, kita masih sempat merasakan dan mendengar istilah “Mbudiyah” untuk sebutan para anak cucu murid Mbah RIfai, kemudian beberapa orang Rifaiyah
mengidentifikasi dirinya sebagai Tarajumah, sehingga beberapa media pada medio 80 an, masih menyebut murid-murid Mbah Rifai ini sebagai Islam Tarajumah. Setelah kurun
pembentukan Rifaiyah sebagai organisasi, maka secara seragam orang Mbudiyah ini menyebut dirinya sebagai Rifaiyah. Ketiga istilah ini kalau kita udar akan mendatangkan
ilmu mengenal diri sendiri sebagai insan Rifaiyah. Dari masa awal perjuangan Mbah Rifai di Kendal sampai wafanya di Jawa Tondano Minahasa, Mbah Rifai selalu setia pada ilmu lelakunya untuk, berijtihad, berjihad, dan mujahadah secara terus menerus. Sebelum Mbah Dahlan, pendiri Muhammadiyah melakukan ijtihad untuk meluruskan kiblat beberapa masjid di Yogyakarta, terutama Masjid Gede di Kauman, Mbah Rifai sudah lebih dulu mengawali usaha yang sama di Kendal. Kita bisa membayangkan reaksi geram para ulama birokrat (biasa disebut dalam kitab tarajumah sebagai alim pasiq) yang pada waktu itu dipercaya pihak Belanda untuk membina masyarakat sebatas dalam urusan ibadah. Kebijakan politik Hindia Belanda waktu itu, -terutama pasca kedatangan Snouck Horgrounje dari Makkah- menetapkan bahwa ummat harus dikondisikan untuk sebatas tahu dan melakukan kegiatan
beribadah. Mereka tidak boleh melek politik, mengetahui makna al-Qur’an dan Hadist yang membenci penjajahan dan pentingnya kemerdekaan, serta menyoroti pemerintahan dan
social budaya masyarakat. 
Kita dapat memahami bahwa kebijakan Hindia Belanda semacam itu Karena dipengaruhi trauma efek dari perang jawa (java orloog) yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang gerilya yang terjadi pada 1825 – 1830 itu membuat kas Negara habis dan hutang pemerintahan Belanda membengkak. Maka tak heran kalau pasca itu ada kebijakan tanam paksa. Trauma
bangkrutnya Belanda yang disebabkan oleh semangat jihad Pangeran Diponegoro dan pengikutnya ini, menjadi terngiang-ngiang di telinga pemerintah Hindia Belanda, pada masa-masa sesudahnya. Dalam bantin para sinyo itu mungkin berujar: “jangan sampai ada orang seperti Diponegoro lagi, kas Negara bisa bangkrut hanya untuk meladeninya,”

Perjuangan Mbah Rifai dilakukan ketika kebijakan pemerintah Hindia Belanda masih diilhami trauma perang Jawa. Tidak hanya Belanda yang mengincar untuk membuang dan memenjarakannya, tetapi sesama kulit sawo matang, yang disebut-sebut Mbah Rifai sebagai alim pasiq ini justru menjadi duri dalam daging. Para alim pasiq ini tugasnya adalah “menikam Mbah Rifai dari belakang”. Dalam arti, mereka menghindar untuk berhadapan langsung dengan Mbah Rifai, untuk diskusi argumentative, atau adu kanuragan sekalian, tetapi mereka selalau memata-matai dan melaporkan segala tingkah polah Mbah Rifai kepada residen Belanda, kemudian mereka mengusulkan agar Mbah Rifai dibuang saja atau dipenjarakan. Keberadaan Mbah RIfai telah menjadikan hidup para alim pasiq ini tidak tenang, karena ibadah dan muamalat ummat yang dipandu mereka dianggap Mbah Rifai tidak sah, dan batal. Dengan alasan karena mereka para kacung kulit putih, dan pengamal dosa besar dan kecil. Mbah Rifai juga merasakan perih batin yang berkepanjangan karena melihat orang-orang Jawa justru berkolaborasi dengan londo dan tumenggung ini. Anda bisa membayangkan bagaimana pedihnya perasaan, kalau seandainya anda diusir dari rumah sendiri oleh selingkuhan istri anda, justru atas perintah istri anda. Ternyata, keberanian Mbah Rifai tidak diikuti oleh murid- muridnya. Sepeninggal Mbah Rifai diasingkan ke tanah Ambon, beberapa muridnya cenderung melakukan dakwah uzlah. Mereka khusuk untuk berkonsentrasi mengajak masyarakat sebatas mengurusi wilayah ubudiah. Itupun dilakukan di desa-desa terpencil, yang mereka babat untuk merintis masyarakat ala ubudiyah. Tak ada muridnya yang mengajukan jiwa raganya untuk menantang kolonialisme Belanda lagi. Mungkin pihak Pemerintah Hindia Belanda, merasa puas karena kebijakan- kebijakannya telah menuai sukses, yakni membatasi masyarakat hanya suntuk dalam urusan ibadah mahdlah. Jangan sampai terlintas dalam batin mereka untuk memikirkan masalah politik. Dalam konteks inilah, Mbudiyah terpendar menjadi istilah. Maka jangan heran kalau umat Rifaiyah sampai sekarang kehidupannya didominasi dengan disiplin ubudiyah. Kita lihat saja, khususnya pada masa saya masih duduk di bangku

Madrasah, masyarakat Rifaiyah dalam pendidikannya cenderung menekankan disiplin ilmu Ibadah Mahdlah, karena hal itu yang diajarkan Mbah Rifai dalam kitab-kitabnya. kita bisa membuka-buka kitab tarajumah, dan disana selalu kita temuakan kata-kata fardlu, rukun, jarang dijumpai pembahasan tentang sunah dan fadlilah. Tapi anda jangan ambil kesimpulan kalau orang-orang Rifaiyah sekarang hanya melakukan fardlu, tak suka sunah; menjalankan ibadah mahdlah, tak jalani muamalah. Aku tak bilang semacam itu lho. Kalau kita mengaku sebagai pengikut ajaran-ajaran KH. Ahmad Rifai, dan melabeli dirinya dengan sebutan Rifaiyah, itu berarti kita sebatas menjalankan seperempat, atau seper sekian persen dari ajaran- ajaran beliau. Istilah Rifaiyah dalam konteks ini adalah bukan kita berusaha mengikuti suri tauladan beliau sebagai mujahid, dan mujtahid, tetapi kita sebatas pengamal ajaran- ajaran beliau yang disampaikan dalam kitab karangannya. Kita bisa memahami bahwa tujuh puluh persen hidup beliau diabdikan untuk menulis kitab, tetapi hampir tak ada murid- muridnya yang menulis kitab, kebanyakan murid-muridnya sebatas menyalin kitab-kitab tarajumah. Padahal masa itu, kertas masih barang yang mahal dan dimonopoli Belanda. Tinta jarang ditemukan. Listrik belum masuk distrik Limpung, apalagi Kalisalak. Tapi kita tahu bahwa kitab Syarikhul Iman hanya diselesaikan beliau dalam tempo tak lebih dari 22 hari. Doakan saja, mungkin tak lama lagi ada peneliti yang akan mengkaji tentang sejarah asal usul kertas yang digunakan Mbah Rifai. Dugaan sementara asal kertas itu dari negeri China.

Kita tahu bahwa dakwah Mbah Rifai selalu dilakukan kepada siapapun yang dianggap beliau sebagai manusia. Di Ambon beliau dakwah kepada orang- orang di Batu Merah. Kalau kita bisa cari tahu, bahwa sampai sekarang disana masih banyak Kristennya. Mungkin dulu Mbah Rifai dakwah kepada umat Kristiani. Yang gamblang terlihat: bahwa Mbah Rifai melakukan dakwah menembus batas agama adalah ketika beliau memasuki Jawa Tondano Minahasa. Buktinya dia mempersunting gadis China, yang tadinya diduga sebagai pengikut agama Kristen, sampai beraanak pinak disana. Sampai sekarang desa Jawa disana berpenghuni sebagain besar Muslim dan berbatasan dengan desa-desa yang mayoritas penduduknya Kristen. Tapi pengikut-pengikutnya masih sebatas mendakwahi masyarakat Rifaiyah sendiri. Mereka tak meneladani Mbah Rifai yang mendakwahi setiap penghuni jengkal tanah yang beliau temukan dimanapun, asal itu masih dalam kategori beliau sebagai bumine Allah Taala. Itupun sudah syukur alhamdulillah daripada penulis yang melupakan usaha dakwah. Maka istilah Rifaiyah, khususnya bagi penulis sendiri, dimaknai sebagai mengikuti 0, sekian persen ajaran-ajaran Mbah Rifai yang dituliskan dalam kitab beliau. Itupun harus melalui rentang perjalanan menerjemahkan ajaran beliau dengan aplikasi pada konteks ibadah, muamalah pada masa kekinian. 
Maka menurut penulis istilah tarajumah cocok dalam kondisi manusia Rifaiyah yang memahami ajaran Mbah Rifai kemudian berusaha mengamalkannya. Karena jaman Mbah Rifai dan masa sekarang berbeda tantangannya, maka setiap manusia Rifaiyah akan menerjemahkan bahasa kitab kedalam bahasa amaliah sehari- hari. Itulah yang dinamakan Tarajumah, minimal menurut penulis sendiri. 
Wallahu alaam bimuradihi
 Sumber : https://www.facebook.com/groups/amricepoko/permalink/276582779083609/

Tidak ada komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management